Find Us On Social Media :

Sekolah Balap Motocross, Bukan Hanya Perbanyak Siswa, Tapi Utamakan Transfer Ilmu

By Motorplus, Jumat, 17 Januari 2014 | 08:17 WIB
()

Semakin banyak sekolah balap motocross, semakin banyak pilihan. Yang namanya pilihan so pasti harus diikuti informasi yang cukup banyak supaya sesuai dengan harapan.

“Sebenarnya sederhana aja. Kalau pembalap seperti saya punya sekolah maksimal bisa menerima murid hanya 5 orang. Lebih dari itu, saya bisa enggak fokus. Mikir melatih, fokus juga pada balapan,” beber Agi Agassi yang tahun ini buka sekolah balap di kawasan Bogor dengan nama Agi Agassi Motocross School.

Benar tuh yang diucapkan Agi. Pembalap profesional seperti dia tetap akan lebih mengutamakan bagaimana bisa selalu menang di balapan. Seandainya pikiran dan jiwanya terpecah dengan urusan lain seperti melatih balap, akan mengganggu konsentrasi.

“Saya melatih juga melatih diri sendiri. Latihan fisik untuk sendiri, plus melatih fisik untuk anak-anak yang saya didik. Kalau seandainya siswanya kelewat banyak, bikin pusing,” urai Adi Aprian Nugraha, crosser nasional dengan punya sekolah Adi Aprian Nugraha #27 Training & Develop of Motocross.

Itulah salah satu penilaian untuk siswa yang mau sekolah motocross. Sekolah di tempat pembalap yang masih aktif balapan secara profesional, belum tentu menjamin hasilnya sesuai harapan kalau si instruktur kelebihan siswa. Tentunya fokus ke siswa tidak akan 100% kalau terlalu banyak siswa.

Pelatih yang masih balapan secara aktif di tingkat nasional, kan terikat dengan kontrak sponsor. Artinya, secara profesional crosser tetap akan bertanggung jawab dengan pihak sponsor. Tentunya kondisi inilah yang membebani crosser yang juga harus melatih siswa.

“Saya menilai siswa sejauh mana kedekatannya dengan orang tua. Orang tuanya mau enggak menyerahkan ke kami 100%. Kalau kelihatannya enggak, Lebih baik siswa saya tolak,” urai Tri Priyo Nugroho, pendiri dan kepala instruktur Nugroho MX Training, Jawa Timur.

Ucapan Priyo jelas dan tegas. Orang tua yang terlalu ikut campur terlalu dalam ke urusan lingkungan sekolah balap bisa mengganggu perkembangan si anak. Pelatih tidak akan bisa mendidik maksimal karena orang tua terlalu mau masuk terlalu dalam.

“Pelatih di sekolah balap ada saatnya juga harus bisa bersikap jadi orang tua. Ngobrol dan evaluasi setelah latihan akan jadi kunci perkembangan si anak,” timpal Deni Orlando, pemilik Orlando Riding Forum, Solo.

Bagian berikutnya, orang tua siswa juga harus bisa lihat bagaimana sikap pelatih seperti yang diucapkan Deni. Karena enggak bisa ikut campur terlalu dalam, pelatih harus tahu kapan jadi pengganti orang tua.

Tapi, sikap jadi pengganti orang tua bukan berarti melepaskan disiplin. Maksudnya, kadang-kadang si anak agak susah ngobrol di hadapan orang banyak dengan instruktur. Tapi, dia mau bicara terus terang pas hanya berdua dengan si pengajar.

“Si anak harus mau ikut dan nurut dengan aturan sekolah. Kalau enggak, siswa enggak bakalan bisa maju karena enggak bisa diatur,” kata Johny Pranata, instruktur utama IMI MX Racing Academy, Malang, Jawa Timur. (www.motorplus-online.com)